Bandar Lampung

BEM Unila Desak Polda Lampung Segera Tetapkan Tersangka Kasus Kematian Pratama Wijaya Kusuma

Bandar Lampung – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung (Unila) mendesak Polda Lampung untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus kematian mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila, Pratama Wijaya Kusuma, yang meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan Pendidikan Dasar (Diksar) Mahasiswa Ekonomi Pecinta Alam (Mahepel) FEB Unila.

Desakan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Hukum, HAM, dan Demokrasi BEM Unila, Ghraito Arip, menanggapi hasil ekshumasi jenazah Pratama yang dilakukan pada 7 Oktober 2025 lalu.

Menurut Ghraito, hasil penyidikan kepolisian telah menemukan adanya unsur kekerasan dalam kegiatan Diksar tersebut. Ia menilai bahwa bukti-bukti yang sudah dikumpulkan aparat penegak hukum telah cukup untuk menetapkan tersangka sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Kami melihat bahwa alat bukti awal, seperti keterangan saksi, hasil ekshumasi jenazah, dan barang bukti, telah menunjukkan bahwa kasus ini memenuhi syarat untuk penetapan tersangka,” ujar Ghraito dalam keterangan resminya, Kamis (9/10/2025).

Ia menegaskan bahwa penetapan tersangka berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHAP harus didukung oleh bukti permulaan yang cukup, yakni minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
“Maka sudah selayaknya Polda Lampung tidak menunda lebih lama penetapan tersangka terhadap pihak-pihak yang terbukti melalui hasil penyidikan pendahuluan,” tegasnya.

Selain mendesak langkah cepat dari Polda Lampung, BEM Unila juga menyoroti tanggung jawab kelembagaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unila atas insiden yang menelan korban jiwa tersebut.

Menurut BEM Unila, fakultas memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk memberikan bimbingan, izin, dan pengawasan terhadap setiap kegiatan kemahasiswaan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

“Fakta bahwa terjadi kekerasan dalam Diksar Mahepel menjadi indikasi kegagalan fungsi pengawasan akademik dan kelembagaan fakultas,” tandas Ghraito.

Karena itu, BEM Unila menuntut agar Dekan FEB Unila memberikan penjelasan dan pertanggungjawaban secara terbuka terkait mekanisme pengawasan, tata kelola izin, serta pendampingan dalam kegiatan kemahasiswaan tersebut.
“Kami menuntut agar Dekan FEB Unila secara terbuka menjelaskan bagaimana pengawasan dilakukan, apakah ada pelanggaran tata kelola izin dan pendampingan, serta langkah perbaikan apa yang akan diambil agar kampus tidak menjadi zona kekerasan,” katanya.

BEM Unila berharap kasus kematian Pratama Wijaya Kusuma dapat menjadi momentum penting untuk mereformasi budaya akademik di lingkungan kampus Unila.
“Kami tidak hanya menyerukan penghormatan terhadap korban, tetapi juga menuntut agar proses hukum berjalan adil, terbuka, dan akuntabel tanpa intervensi institusional yang dapat melemahkan independensi penyidikan,” tutup Ghraito.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *