Lampung Tengah – Warga di Kabupaten Lampung Tengah menerapkan sistem bertani tumpang sari untuk memperoleh penghasilan yang berkelanjutan.
Edy Sule, petani asal Kecamatan Seputih Agung, mengatakan bahwa metode tumpang sari yang ia terapkan di lahan seluas kurang lebih 500 meter itu ditanami komoditas jagung, cabai, dan kencur.
“Rencana panen dari metode yang saya terapkan adalah jagung bisa panen di 3 bulan pertama, 4 bulan kemudian panen cabai (sampai 5 periode), setelah itu panen kencur untuk panen tahunan,” ujar Edy, Kamis (2/10/2025).
Menurutnya, metode tumpang sari dipilih untuk mengoptimalkan penggunaan lahan, meningkatkan produktivitas, serta mengurangi risiko gagal panen.
Edy menuturkan, awalnya ia menanam alpukat di lahan seluas setengah hektare. Namun, setelah melihat ada ruang yang cukup, ia kemudian menambahkan komoditas jagung, cabai, dan kencur sebagai sistem tumpang sari.
Ia menjelaskan, kebutuhan bibit kencur untuk lahan seperempat hektare sekitar 5 kwintal atau 500 kilogram, sedangkan untuk lahan setengah hektare membutuhkan 1 ton bibit.
“Saat ini harga kencur lagi mahal, harga benihnya saja Rp22–25 ribu per kilogram. Tetapi mau mahal atau murah sekalipun, menanam kencur bagi saya adalah tabungan untuk siklus tahunan,” ujarnya.
Edy memprediksi, dari total 1 ton kencur yang ia tanam, saat panen bisa menghasilkan 3 ton. Dengan harga jual kencur sekitar Rp25 ribu per kilogram, hasil panen tersebut dapat menghasilkan Rp75 juta per tahun.
Namun, ia mengakui ada kendala dalam budidaya kencur, yakni serangan jamur fusarium. Penyakit ini menyebabkan daun menguning dan tanaman layu.
“Jamur ini ditularkan melalui tanah dan sulit diobati, tapi bisa dicegah dengan memilih bibit sehat, menjaga sanitasi kebun, serta penggunaan obat anti jamur. Tapi kalau kencur sekali kena jamur, semua bisa kena, kencurnya bisa habis dan gagal panen. Itu risiko di komoditas kencur,” ungkap Edy.
